PEREMPUAN PURNAMA

on Rabu, 28 November 2012

Separuh waktu yang lalu aku melihatnya, dia duduk di hamparan batu hitam, memakai kaca mata hitam dengan balutan selendang hitam pula. Aku hanya mengamatinya dari jauh, mereka-reka tentang dia, tentang sejarah yang diciptakannya, tentang makna setiap deru nafasnya, tentang kristal putih yang mengaliri pipi merah jambunya, tentang setiap langkah yang berpijak di pasir kecoklatan, tentang penasaran yang terpendam sangat rapat di dasar perasaan. Akhirnya aku pun menyerah pada keadaan, terpana dengan mimpi-mimpi di tengah khayalan zaman. Terseret renungan panjang tentang waktu perjumpaan di tengah taburan rembulan, tentang madu-madu serapan dari liuk tawa masa lalu yang terhindarkan dari percumbuan kelelakian.
Ya masih seperti separuh waktu yang lalu, aku duduk mengamatinya dari kejauhan, agar dia tak curiga ada yang mengamatinya. Dia sepertinya asyik dengan dunianya, menikmati zaman yang diciptanya serta mencoba larut dalam suasana hatinya. Aku tetap saja mengamatinya, dari jauh dan dengan hati-hati agar dia tidak tahu kalau ada aku yang mengamatinya secara diam-diam. Aku melayakkan diri sebagai pencuri kelakuan, memposisikan sebagai maling tak berpenghasilan jasmaniah hanya untuk mengenyangkan khayalanku.
Tiga putaran waktu sampai sekarang dia tetap duduk di batu hitam dengan selendang hitam melilit lehernya seperti malam-malam purnama sebelumnya, tidak dengan buliran kristal yang mengaliri pipi merah jambunya, tapi dengan semerbak mawar yang mengembang di sela-sela lesung pipit yang mengapit senyum termanisnya semenjak aku mengenalnya dalam khayalan. Inilah malam terindah yang pernah kulewati dengannya, walau kita hanya berkhayal dalam angan kita, tepatnya aku yang menghidupkannya dalam khayalan.
Malam ini guyuran gerimis sepertinya membuatku romantis, sebab aku datang menghampirinya dengan selembar daun pisang, mencoba tersenyum semanis mungkin untuknya sebagai senyum perkenalan. Sepertinya gerimis berubah menjadi guyuran mawar putih, dia selaksa Cinderella yang selalu hadir mencandai mimpiku, selalu menampar kesadaranku, selalu baru dalam otakku.
Waktu terasa begitu cepat, tiba-tiba aku sudah ada di depan rumahnya, aku baru menyadarinya setelah dia pamit masuk, aku hanya mengiyakannya dengan anggukan, rasanya mulutku terkunci rapat. Akh, aku sampai-sampai lupa menanyakan namanya, waktu hanya mencipta aku sebagai pengamat yang amat sangat mengamatinya tanpa ada pertukaran kata di antara kita.
Mungkinkah purnama berikutnya dia akan duduk kembali di batu hitam itu, mungkinkah aku masih bisa menikmatinya, perempuan purnama yang telah mengusir gerhana hatiku dengan cara halus nan pelan, sampai-sampai aku tidak menyadarinya. Mungkinkah aku bisa menghirup mawar dari senyumnya untuk pengobat lelahku, untuk merefresh otakku yang kadang mengusang ditindih debu-debu jalanan.
Waktu serasa berat untuk dijalani, terlalu lama menunggu bulan purnama berikutnya, seperti menunggu hujan di musim kemarau, bisa-bisa mengubur diriku dalam kematian panjang, menghapus makhluk malam pengamat perempuan purnama dari cerita, menggantinya dengan tokoh yang lebih bagus aktingnya atau dengan aktor yang lebih hijau.
Putaran keempat aku datang ke tempat batu hitam tidak dengan diam-diam lagi, dengan senyum tulus yang pernah kucipta, dengan cita-cita menjulang serta dengan penampilan yang lebih menjanjikan, dan tentunya dengan tingkat kepercayaan diri yang tinggi pula. Aku semakin mantap melangkah, semantap purnama malam ini. Aku susuri jalan berduri seperti menyusuri padang pasir di tengah embun, sejuk seperti udara pegunungan.
Aku duduk di batu hitam itu, tak ada orang selain aku. Mungkin dia belum datang, aku duduk dengan nyaman seraya memainkan bunga di hatiku. Membayangkan bercanda ria dengan perempuan purnama di padang purnama pula.
Entah karena kesayikan atau apa, aku baru tersadar setelah ayam berkokok bahwa malam telah berganti pagi dan purnama sebentar lagi akan diganti dengan sang surya. Aku seperti tersadar dari mimpi panjang, aneka tanda tanya bertaburan di alam fikiran. Aku lelah, tertidur di batu hitam itu.
Aku tidak ingat berapa lama aku tertidur, seabadkah atau mungkin sudah lebih, yang pasti aku melihat purnama dan batu hitam itu, ternyata sudah di tumbuhi lumut-lumut tebal. Aku pun ingat perempuan purnama, “dimanakah dia?” batinku bertanya penuh gerimis. Aku edarkan pandangan ke sekeliling, telah banyak yang berubah, pohon-pohon sudah kering, daunnya pun berguguran. Aku semakin bingung, seberapa lamakah aku tertidur hingga semuanya berubah seperti ini. Mungkinkah aku sudah ada di alam lain, akh pertanyaan yang tak rasional. Mana mungkin di alam lain, batu hitam ini buktinya meski telah berlumut, batu ini adalah milik perempuan purnama itu, “di manakah dia?” batinku kembali bertanya. Semakin lama rasanya semakin bingung aku memikirkan ini, seperti tersudut dalam ruang kebingungan itu sendiri rasanya hidupku.
Di antara kebingungan tiba-tiba seberkas sinar jatuh tepat di batu hitam berlumut, aku mulai takut, semakin membuatku bingung. Sinar itu seperti gumpalan bola salju, pelan-pelan menjadi sesosok bayangan yang pernah kukenal, sosok yang pernah melukis di padang gerhana, ya seperti sosok perempuan purnama yang pernah berpayung daun pisang denganku di malam purnama terdahulu saat gerimis tumpah dari langit,  yang kurasa adalah guyuran mawar putih waktu itu. Tidak salah lagi bayangan itu adalah perempuan purnama, “kemanakah selama ini dia?” batinku merajuk. Di sela kebingunganku tiba-tiba dia tersenyum, aku tak sanggup membalasnya, entah apa yang menahan urat-urat bibirku untuk menggerakkannya menjadi sebentuk senyum seperti senyum perkenalan terdahulu.
Belum sembuh kebingunganku, aku terpaksa dibuat bingung dengan yang kulihat, perempuan purnama itu tiba-tiba bersayap dan perlahan terbang ke angkasa tanpa senyum lagi, mungkinkah dia marah karena aku tidak membalas senyumnya, aku pun hanya mematung menyaksikan semuanya, seperti tersihir dengan keadaan hingga tak mampu bergerak. Ya perempuan purnama itu semakin mengangkasa seperti menuju ke purnama meninggalkanku dan batu hitam yang telah berlumut ini, aku lelah kembali, tertidur di batu hitam yang telah berlumut ini.

Teruntuk perempuan yang telah mereguk purnama,
Jangan pernah lupakan aku!
Karena kau selalu baru dalam otakku.
Malang, 16.09.08
05.30-07.11

0 komentar:

Posting Komentar