DIALOG UANG LOGAM

on Jumat, 30 November 2012

Sengatan matahari menusuki kesadaran hari, anak itu melangkah menyusuri aspal hitam yang mengkilap di guyur ultraviolet. Bayangan mobil, motor serta lalu lalang orang telah mengambang di otaknya, dan yang pasti recehan logam begitu nyata membayang dalam fikirannya. Semua itu begitu memompa semangatnya untuk melangkah meski harus melawan sengatan matahari, melipat gandakan kekuatannya meski perut itu dari tadi pagi belum terisi makanan sama sekali. Ya energinya saat ini seperti asterik yang minum ramuan ajaib, meningkat dari luar kodratnya.
Pertigaan itu sudah nampak, tinggal beberapa meter lagi dia akan sampai di sana, ya dia akan berada ditengah seliweran mobil dan motor itu dengan gelas air mineral di tangan dan tak lupa dengan sedikit suara yang agak sumbang untuk melancarkan kerjanya. Bayangan itu begitu nyata lagi, setumpuk uang receh di tangan, senyum simpul akan bertengger di bibirnya, ah terasa indah rasanya, mengalahkan malam pertama sepasang pengantin.
Dia mempercepat langkahnya, bayangan itu benar-benar sangat menggodanya, menguji imannya. Langkahnya semakin cepat, semakin tak tahu keadaan dan tiba-tiba ” braaak”, suara itu membelah kebisingan hari.
###
Pelan-pelan sekali garasi itu terbuka dan escudo merah cerah keluar dengan pelan pula, tampak di belakang garasi itu sebuah gedung bertingkat menjulang dengan tegak melawan desir angin yang membelai pematang cerita.
Pelan-pelan escudo itu meluncur membelah siang yang panas, tampak pula senyum manis bercampur mangga muda di dalam escudo itu, senyumdari seorang perempuan muda, senyum kedamaian atas dunia yang telah berhasil di rengkuhnya. Dengan gayanya yang simpel ia menghisap rokoknya, mecoba melepaskan ekspresinya yang terkungkung.
Tepat di depan gedung rumah sakit Cipta Rasa dia turun dari escudonya, perlahan menyusuri lorong-lorong sunyi rumah sakit itu hingga sampai pada ruangan yang asri. ” tok, tok, tok,” ia mulai mengetuk pintu. Kemudian tampak senyum menawan dari sosok tampan dari dalam ruangan itu seraya pintu terbuka, cipika-cipiki pun terlahir dengan sendirinya. Pembicaraan pun mengalun seperti irama syahdu dari nostalgia masa kanak, tak pernah puas, dan hanya desir-desir udara yang mampu mengkawaninya.
Restoran itu masih sepi, mungkin karena masih sore, biasanya para pengunjung mulai ramai ketika sehabis magrib, dan di sudut paling utara itu sepasang manusia sedang terlibat dalam pembicaraan yang serius, itu tampak dari makanan di mejanya yang belum tersentuh sama sekali.
Para pengunjung mulai banyak yang berdatangan seiring kumandang musafir malam mengadukan keresahan selama sehari tadi, waktunya merefresh diri dengan basuhan air wudhu’. Dan para pelayan mulai sibuk melayani pengunjung, itu tampak dari rautnya. Suasana pun mulai ramai dengan berbagai celoteh para pengunjung itu, suasana yang pas untuk mengkomunikasikan diri dengan cara lama.
” aku sudah tiga bulan telat ” si pria membaca lukisan huruf di tisu yang di sodorkan oleh sang permpuan yang ada di depannya.
Si pria masih diam, mungkin berpikir atau malah tertawa dalam hati.
“ bagaimana? “ mata si wanita terbelalak melihat tulisan di atas kertas tipis itu. Mungkin ia merasa bingung, atau juga marah dengan sikap sang prianya.
” TANGGUNG JAWAB ” mata pria itu sepertinya juga terkejut memelototi kertas itu.
Tampak raut muka si pria seperti seorang yang kebingungan, mungkin sebuah pilihan dan konsekuensi tergambar rapi dalam hatinya. Diam, mereka sepertinya kompak dalam satu suasana.
Akhirnya mereka meninggalkan tempat itu tanpa ada sebuah kata-kata dari keduanya, di dalam mobil mereka pun terjebak dalam sebuah 1 keyakinan : DIAM.
###
Para perawat sedang sibuk di ruang UGD, seorang pasien tanpa identitas sedang butuh pertolongan agar nyawanya selamat. Tampak dari kepalanya darah mengucur deras, para perawat itu mulai menanganinya denga sangat teliti.
” tok, tok, tok ”
” masuk ” jawab dari dalam ruangan itu setelah lebih dari 3 kali ketukan itu mengalun baru mendapat tanggapan.
” dok, ada pasien perlu pertolongan” kata suster itu dengan nafas masih tersengal-sengal.
” tangani kamu saja, masak 3 tahun jadi perawat tidak bisa menangani 1 pasien saja” jawabnya ketus.
” tapi pasien ini perlu dioperasi dok ” dokter itu malah diam, mungkin berpikir.
Akhirnya dengan berbagai macam penjelasan dokter itu pun datang ke ruang UGD, tanpa pikir panjang akhirnya pasien itu pun di tangani oleh dokter itu. Hal yang mengundang tanda tanya dari para perawat, sebuah hal yang tidak biasa dari dokter. Biasanya jika ada pasien yang harus dioperasi dokter masih berlam-lama tanpa alasan yang jelas, namun hari ini dia langsung menangani pasien tersebut. Kemajuan yang bagus kata para perawat itu serentak dalam hati.
Di ruang pavilium dokter masih menjagai pasien itu, menjagai bocah lusuh yang terbaring kaku dengan berbagai selang infus melilit tubuhnya. Di luar ruang tampak perempuan dengan dandanan lusuh mengamatinya, ada sesuatu yang menyentak hatinya. Seustu yang menerbangkannya pada beberapa tahun yang lalu, pada luka yang telah merusak cita-citanya.
Para perawat mulai berbisik seiring dengan tingkah dokter yang selalu menjagai bocah itu, sebuah keanehan yang telah menyita perhatian mereka. Dan tanpa sepengetahuan dari orang-orang rumah sakit perempuan dengan dandanan lusuh itu juga selalu mengamatinya dari luar ruangan, tanpa berani masuk ke dalamnya.
Dokter itu merasa melihat masa kecil dirinya dari dalam diri bocah yang menjadi pasiennya, mungkin karena kesamaan nasib yang membentuk rasa tersebut, atau mungkin ada hal lain. Semua itu masih sebatas tanda tanya, tanpa ada jawaban.
Di bangku papan di taman rumah sakit seorang perempuan memandangi uang logam yang beberapa hari yang lalu di temukan anaknya, uang logam dengan hanya satu sisi yang bergambar, sedang sisi yang satunya polos tak bergambar dan juga tak bertuliskan apapun. Dia menimang-nimang uang itu, mungkin bertanya-tanya tentang uang yang ada dalam genggamannya. “mungkinkah semua ini ada hubungannya dengan dokter yang telah menangani anaknya” tanyanya dalam hati kecilnya. Semakin lama ia semakin tenggelam dalam kebingungan fikirannya sendiri, dan juga bercampur dengan ketakutan tentang masa lalunya, dan akhirnya ia pun terlelap bersama sapuan angin malam di keningnya.
###
Pagi yang cerah, matahari sepertinya tersenyum pada alam. Di dalam ruang pavilium, seorang anak sedang menikmati kasih sayang ibunya. Dan tepat dari balik pintu dokter itu masuk dengan senyum mengembang, namun tiba-tiba kakinya terhenti setelah dua mata itu saling pandang, sebuah tatapan mata yang pernah beradu mencipta semacam kesepakatan beberapa tahun yang lalu.
” Ni….ken ” ucap dokter itu tanpa sadar.
” Dhiiiikaaa ” balas perempuan lusuh itu.
Dan tanpa perintah dari siapapun, keduanya pun berpelukan. Dua keping uang logam jatuh ke lantai, bocah itu memandanginya dengan keheranan. Bukan pada uang logam itu, tapi pada sepasang makhluk yang berpelukan.
Malang, 21 September 2008

BIJI SEMANGKA


Hari itu aku baru pulang dari sekolah, biasanya aku jalan kaki sebab jarak antara sekolah dengan rumahku tak lebih dari 2 km. Hari yang cerah, itu dapat kurasakan dari sengatan mentari yang membuatku merasa haus, tenggorokanku rasanya sangat kering. Sejak keluar dari sekolah aku sudah mengawasi kanan-kiri untuk melihat-lihat siapa tahu ada penjual es, namun sama sekali tak kutemui penjaja es dari tadi. Akhirnya aku memutuskan untuk istirahat di bawah pohon, aku melihat semacam tempat duduk yang terbuat dari papan yang biasanya ditempati ibu-ibu ketika menunggu angkot ketika mau ke pasar. Aku selonjorkan kaki ini supaya peredaran darah di betisku berjalan dengan lancar, aku melakukan hal ini setelah sering jalan-jalan dengan pak lik, beliaulah yang mengingatkanku agar setelah berjalan kaki jangan ditekuk karena akan menyebabkan penyakit apa gitu, yang pasti aku lupa apa penyakitnya sebab aku sering lupa dengan nama-nama penyakit. Ah enak rasanya menikmati angin yang membelai rambutku dan menyapu keringat di keningku, dan rasa nyaman itu bertambah setelah penjual buah melintas didepanku.
“ pak buahnya berapaan? “
“ seribu dapat tiga “ jawabnya
“ kalo gitu, semangka enam “ aku mengulurkan uang seribuan dua, penjual buah itu pun beranjak pergi dari tempatku duduk.
Nikmat rasanya semangka ini, apa karena panas yang menyengat semangka ini nikmat untuk disantap. Namun setelah semangka yang terakhir aku agak kaget, aku merasa ada biji semangka yang ikut tertelan, ya hanya sebiji tapi membuatku fikiranku agak karuan. Aku jadi ingat kata nenek dulu kalau makan semangka bijinya jangan sampai tertelan sebab biji itu akan tumbuh didalam tubuhmu, aku jadi cemas. Aku benar-benar cemas, jangan-jangan nanti ditubuhku tumbuh semangka. Aku benar-benar takut, akhirnya aku memutuskan untuk cepat-cepat pulang.
Aku sedikit lega setelah melihat halaman rumahku, aku pun membayangkan nasi dan lauk dimeja makan. Aku ingin cepat-cepat makan yang banyak, berharap langsung buang air besar dan benar-benar sangat berharap biji semangka itu keluar bersamaan dengan beolku. Aku benar-benar takut jika biji itu tumbuh menjadi pohon semangka di dalam tubuhku, moga-moga perutku cepat-cepat mules dan buang air besar serta biji itu juga ikut keluar dengan beolku. Melihat aku makan banyak ibuku terheran-heran sebab biasanya aku makannya sedikit, aku menjawab asal saja dengan mengatakan kalau aku lagi nafsu banget untuk makan. Ibuku malah mengatakan kalau aku mungkin aku sudah baligh, sebab katanya ciri-ciri orang baligh kalau tidak ingin dekat-dekat sama perempuan biasanya makannya banyak. Aku hanya mengiyakan saja sebab perutku mulai tidak sabar ingin muntah, kulihat ibu tersenyum.
Aku sudah berada di WC, aku tak lupa mengawasi beolku dan sangat berharap sekali biji semangka itu juga ikut keluar. Ku tunggu sampai lama, namun juga tak ku lihat biji semangka itu, aku sedikit takut lagi. Dan ketakutanku tambah meningkat setelah tak jua kulihat biji semangka itu, aku keluar dari WC dengan fikiran yang tak karuan. Wajahku kusut sekali, karena tak ingin berkalut-kalut aku coba untuk tidur namun mataku tak kunjung bisa terpejam, akhirnya aku hanya mondar-mandir didalam kamar. Aku coba keluar kamar dan duduk di ruang tamu sambil menyetel TV untuk sekedar menenangkan fikiranku yang kalut.
Tak terasa malam mulai datang, aku pun tidak ngaji malam ini karena fikiranku masih kalut. Aku beralasan malas waktu ibuku menanyakan mengapa aku tidak ngaji di langgar, dan omelan-omelan meluncur deras dari ibuku, nasehat sech tapi karena aku sedikit agak kesal aku anggap itu sebagai omelan. Semalaman aku tidak bisa tidur, fikiranku masih tidak bisa diajak terlelap padahal mataku mulai tidak kuat menahan kantuk.
“ bangun us ‘ suara ibuku terdengar berkali-kali namun aku tak menghiraukannya.
Aku baru terbangun jam sembilan, saat aku keluar dari kamar aku lihat ibuku dari dapur masih dengan pisaunya. Hatiku gemetaran, bukan karena melihat pisau ditangan ibu tapi karena hari ini aku terlambat bangun dan otomatis tidak masuk sekolah.
“ mulai besok selama seminggu kamu tidak dapat uang saku “ aku hanya bisa pasrah, aku tak kuasa untuk membantahnya sebab mungkin akan lebih berat akibatnya.
Aku hanya tersenyum sendiri mengingat peristiwa sepuluh tahun yang lalu, sungguh indah masa kanak-kanak itu, rasanya baru kemarin aku menikmatinya.
Malang, Februari 2009

MENGUNJUNGI MALAM


Seperti malam terdahulu aku masih menunggumu di tempat ini, persis saat kau pamit untuk menjemput mimpimu aku merasakan perasaan yang benar-benar tak dapat aku mengerti. Sebuah cerita yang terus menerus berkejaran di otakku, dan mungkin akan menyeretku yang mulai tak berdaya ini, ya akan memaksaku untuk melakukan apa yang pernah dulu aku lakukan saat otot-otot di tubuh ini masih sangat kokoh. Sedang malam ini tubuhku mulai tidak kuat menahan sapaan udara, seperti orang yang lama mengasingkan diri dan tiba-tiba harus menggauli keramaaian. Rasanya canggung, ya aku merasa aneh malam ini dan semua terasa berat untuk dilalui. Ya kakiku seperti terpaku pada tanah, tak bisa digerakkan. Begitu juga dengan badan ini, rasanya aku seperti gorilla yang tak bisa bebas melangkah kemana-mana padahal tubuhku sangat kurus, ramping dan sangat minimalis sekali.
Sepagi ini aku sudah bangun, entahlah apa yang membuatku cepat-cepat bangun dari fantasi yang melelap dalam mimpi padahal aku biasanya selalu bangun saat matahari sudah meninggi, aku juga merasa sangat aneh hari ini, aku terlihat sangat rajin sekali menurut pandanganku sendiri. Ya aku tampak lebih bersemangat dari kemarin-kemarin, lebih keliatan segar dan tentunya lebih bergairah untuk menggoresi langit dengan warna-warni cahaya. Aku sedikit mulai berpikir, mencari-cari alasan atas perubahan yang lebih ke arah positif ini padahal aku terkesan menjadi lebih negatif biasanya. Ya aku mulai memutar memoriku ke belakang, mengingat-ngingat kejadian yang kulalui siapa tahu aku pernah bertemu seseorang yang mungkin suci dan sudi memberikan kesuciannya padaku. Tapi setelah semakin keras memikirkan hal itu, rasanya tak ada kejadian yang menurutku janggal sebab aku juga tidak begitu keluar rumah, aku lebih senang mengurung diri di kamar sambil memnadangi figura yang terpajang manis di atas dipanku. Ya mengisi hariku dengan aneka imajinasi tentangnya, tentang senyum manis yang sempat menaburi hatiku dengan mawar-mawar putih. Setidaknya aku bisa menikmati senyumnya meski dengan cara yang berbeda dari sebelumnya, sedikit mampu menghibur diri yang sedikit kusam. Kecuali malam hari, itu pun hanya beberapa malam tertentu saja keluar rumah tidak setiap malam aku menyapa udara malam, sebab aku merasa udara malam kadang membuatku berpikiran semakin renta.
Seperti malam sebelumnya aku keluar rumah lagi, ya hanya untuk mendatangi tempat terakhir dimana kita saling memahami diri kita masing-masing dengan saling melumat bibir dan meresapi rasa yang tersebar ke segala penjuru tubuh. Sekedar menghibur kesunyian ini dengan menikmati sudut-sudut percumbuan yang pernah kita cipta bersama, ya kita pun sempat bersepakat menjadikan sudut-sudut itu menjadi bagian dari sejarah dari negara, sebuah keegoisan yang teramu dari dua keinginan yang tak pantang menyerah. Sekarang aku sudah punya kegiatan rutin, mengunjungi malam dengan udaranya serta mengingat kembali percumbuan-percumbuan yang sempat tercecer di aspal-aspal yang mulai lapuk disapu hujan. Ya aku sudah tidak terlalu menganggur pada malam hari, menjadi pengunjung situs-situs sejarah yang tak sempat kurawat. Aku berlagak sebagai arkeolog yang senang dengan benda-benda purbakala, menyanjung artefak-artefak yang selalu mengingatkanku padamu, dan juga melengkapi mimpiku dengan bermacam warna cahaya.
Hari-hariku berjalan seperti biasanya, mengurung diri di kamar saat matahari menyengat dan mengunjungi malam dengan mimpi yang belum sempurna sebelum terpikat denga gemintang. Meski terkesan monoton, aku merasakan kenikmatan yang luar biasa karena aku bisa menemuimu dengan caraku sendiri dan mungkin berbeda dengan cara orang kebanyakan. Aku tidak terlalu memperdulikan itu, aku hanya ingin menikmati hidup dengan caraku sendiri serta mampu membahagiakan diriku sendiri karena aku yakin setiap orang mempunyai cara yang berbeda untuk membahagiakan dirinya. Aku tidak ingin ambil pusing dengan apa yang dikatakan orang, sebab aku selalu menyumbat kupingku dengan kapas jika ingin menggauli keramaian.
***
Entah sudah berapa tahun aku menikmatimu dengan cara yang berbeda, mencumbuimu dengan cara yang sederhana dan menggauli keramaian jika hanya bernafsu saja. Aku lebih asyik dengan kesunyian yang aku guratkan, lebih nyaman menyusuri malam seorang diri. Aku kembali mengamati figura manis yang masih kokoh di atas dipanku, namun mulai sedikit berdebu sebab belakangan ini aku tidak sempat bersih-bersih termasuk bersih diri aku pun mulai jarang. Waktuku banyak tersita dengan menikmatimu, membalas senyummu yang manis dalam lelap mentari hingga tak jarang aku merasa gatal di sekujur tubuh, tapi aku malah menikmati gatal-gatal itu sebab aku selalu merasa kau yang menggaruki kulit ini dengan sisir bekas yang kau gunakan menyapu rambutmu.
Malam ini aku kembali mendatangi tempat terakhir dimana kita melepas desah kita dengan nyaman serta meninggalkan ketentraman dihati ikan-ikan di bawah jembatan ini, ya aku menguak kabut yang lama tidak disinggahi hanya untuk menikmatimu dengan cara yang berbeda. Ya mengingat desahan yang lama tidak dapat aku nikmati secara nyata, menjadikannya bekal untuk bermimpi-mimpi dengan sederhana pula, menenun kenangan menjadi sebentuk pengharapan akan lumatan-lumatan yang kita gariskan dahulu.
Mengunjungimu dengan pakaian sederhana, dengan cara sederhana dan dengan perayaan sederhana pula, cukup membagi nafsu yang merangsek naik ke bibir dan menuangkan secawan madu di bibir mungilmu yang kemudian memupuk jadi berjuta-juta pengharapan dan doa. Ya menikmati rembulan hanya dengan sedikit memejamkan mata dan berpura-pura berdialog dengannya serta juga bertutur rasa untuk prolog dari persengkongkolan yang kekal, menandatangani persetujuan awal sebelum memasuki inti dari pengharapan yang mulai mengental.
Mengunjungi malam dengan bertelanjang dada, mencoba melawan kerentaan yang tak masuk akal serta juga mengingat lipstikmu yang sempat menggambar bibir di dadaku. Mengingat penghamilan yang menyebabkan kau tidak percaya lagi padaku namun sebelum kau meninggalkanku malah memintaku untuk mengulangi kembali proses penghamilan itu, yang juga membuatku berdiri keheranan ketika kau berbisik akan memperkosaku di malam terakhirmu di kota ini. ya kado perpisahan katamu, membuatku semakin terheran saja dengan alasanmu meninggalkan kotaku. Bukan karena kenikmatan aku menyanggupi keinginanmu, melainkan hanya mencoba memberikan kesan terakhir yang indah dan mungkin akan selalu kau ingat sepanjang hidupmu.
Seperti pagi yang kering karena kau tak pernah mengunjungiku disaat aku terlelap dengan mimpi basahku, kau selalu mengunjungiki pas tengah malam hanya untuk membagi kelelahanmu yang ditandai dengan desahanmu yang sekali-kali dibarengi dengan rontaan nakal, mungkin untuk memercikkan kenakalanku hingga kau kadang menggigit putingku sampai merah. Kau kadang terkesan nakal dan manja, namun itulah yang membuat aku senang padamu, yang membuat dadaku seperti menjaga bara.
Seperti malam ini aku mencumbui bayanganmu, meraih kenikmatan yang sempat aku rengkuh saat bersamamu dulu.
Bersama rintih malam aku menuangkan doaku,
Malang 15 Februari 09

PEREMPUAN PURNAMA

on Rabu, 28 November 2012

Separuh waktu yang lalu aku melihatnya, dia duduk di hamparan batu hitam, memakai kaca mata hitam dengan balutan selendang hitam pula. Aku hanya mengamatinya dari jauh, mereka-reka tentang dia, tentang sejarah yang diciptakannya, tentang makna setiap deru nafasnya, tentang kristal putih yang mengaliri pipi merah jambunya, tentang setiap langkah yang berpijak di pasir kecoklatan, tentang penasaran yang terpendam sangat rapat di dasar perasaan. Akhirnya aku pun menyerah pada keadaan, terpana dengan mimpi-mimpi di tengah khayalan zaman. Terseret renungan panjang tentang waktu perjumpaan di tengah taburan rembulan, tentang madu-madu serapan dari liuk tawa masa lalu yang terhindarkan dari percumbuan kelelakian.
Ya masih seperti separuh waktu yang lalu, aku duduk mengamatinya dari kejauhan, agar dia tak curiga ada yang mengamatinya. Dia sepertinya asyik dengan dunianya, menikmati zaman yang diciptanya serta mencoba larut dalam suasana hatinya. Aku tetap saja mengamatinya, dari jauh dan dengan hati-hati agar dia tidak tahu kalau ada aku yang mengamatinya secara diam-diam. Aku melayakkan diri sebagai pencuri kelakuan, memposisikan sebagai maling tak berpenghasilan jasmaniah hanya untuk mengenyangkan khayalanku.
Tiga putaran waktu sampai sekarang dia tetap duduk di batu hitam dengan selendang hitam melilit lehernya seperti malam-malam purnama sebelumnya, tidak dengan buliran kristal yang mengaliri pipi merah jambunya, tapi dengan semerbak mawar yang mengembang di sela-sela lesung pipit yang mengapit senyum termanisnya semenjak aku mengenalnya dalam khayalan. Inilah malam terindah yang pernah kulewati dengannya, walau kita hanya berkhayal dalam angan kita, tepatnya aku yang menghidupkannya dalam khayalan.
Malam ini guyuran gerimis sepertinya membuatku romantis, sebab aku datang menghampirinya dengan selembar daun pisang, mencoba tersenyum semanis mungkin untuknya sebagai senyum perkenalan. Sepertinya gerimis berubah menjadi guyuran mawar putih, dia selaksa Cinderella yang selalu hadir mencandai mimpiku, selalu menampar kesadaranku, selalu baru dalam otakku.
Waktu terasa begitu cepat, tiba-tiba aku sudah ada di depan rumahnya, aku baru menyadarinya setelah dia pamit masuk, aku hanya mengiyakannya dengan anggukan, rasanya mulutku terkunci rapat. Akh, aku sampai-sampai lupa menanyakan namanya, waktu hanya mencipta aku sebagai pengamat yang amat sangat mengamatinya tanpa ada pertukaran kata di antara kita.
Mungkinkah purnama berikutnya dia akan duduk kembali di batu hitam itu, mungkinkah aku masih bisa menikmatinya, perempuan purnama yang telah mengusir gerhana hatiku dengan cara halus nan pelan, sampai-sampai aku tidak menyadarinya. Mungkinkah aku bisa menghirup mawar dari senyumnya untuk pengobat lelahku, untuk merefresh otakku yang kadang mengusang ditindih debu-debu jalanan.
Waktu serasa berat untuk dijalani, terlalu lama menunggu bulan purnama berikutnya, seperti menunggu hujan di musim kemarau, bisa-bisa mengubur diriku dalam kematian panjang, menghapus makhluk malam pengamat perempuan purnama dari cerita, menggantinya dengan tokoh yang lebih bagus aktingnya atau dengan aktor yang lebih hijau.
Putaran keempat aku datang ke tempat batu hitam tidak dengan diam-diam lagi, dengan senyum tulus yang pernah kucipta, dengan cita-cita menjulang serta dengan penampilan yang lebih menjanjikan, dan tentunya dengan tingkat kepercayaan diri yang tinggi pula. Aku semakin mantap melangkah, semantap purnama malam ini. Aku susuri jalan berduri seperti menyusuri padang pasir di tengah embun, sejuk seperti udara pegunungan.
Aku duduk di batu hitam itu, tak ada orang selain aku. Mungkin dia belum datang, aku duduk dengan nyaman seraya memainkan bunga di hatiku. Membayangkan bercanda ria dengan perempuan purnama di padang purnama pula.
Entah karena kesayikan atau apa, aku baru tersadar setelah ayam berkokok bahwa malam telah berganti pagi dan purnama sebentar lagi akan diganti dengan sang surya. Aku seperti tersadar dari mimpi panjang, aneka tanda tanya bertaburan di alam fikiran. Aku lelah, tertidur di batu hitam itu.
Aku tidak ingat berapa lama aku tertidur, seabadkah atau mungkin sudah lebih, yang pasti aku melihat purnama dan batu hitam itu, ternyata sudah di tumbuhi lumut-lumut tebal. Aku pun ingat perempuan purnama, “dimanakah dia?” batinku bertanya penuh gerimis. Aku edarkan pandangan ke sekeliling, telah banyak yang berubah, pohon-pohon sudah kering, daunnya pun berguguran. Aku semakin bingung, seberapa lamakah aku tertidur hingga semuanya berubah seperti ini. Mungkinkah aku sudah ada di alam lain, akh pertanyaan yang tak rasional. Mana mungkin di alam lain, batu hitam ini buktinya meski telah berlumut, batu ini adalah milik perempuan purnama itu, “di manakah dia?” batinku kembali bertanya. Semakin lama rasanya semakin bingung aku memikirkan ini, seperti tersudut dalam ruang kebingungan itu sendiri rasanya hidupku.
Di antara kebingungan tiba-tiba seberkas sinar jatuh tepat di batu hitam berlumut, aku mulai takut, semakin membuatku bingung. Sinar itu seperti gumpalan bola salju, pelan-pelan menjadi sesosok bayangan yang pernah kukenal, sosok yang pernah melukis di padang gerhana, ya seperti sosok perempuan purnama yang pernah berpayung daun pisang denganku di malam purnama terdahulu saat gerimis tumpah dari langit,  yang kurasa adalah guyuran mawar putih waktu itu. Tidak salah lagi bayangan itu adalah perempuan purnama, “kemanakah selama ini dia?” batinku merajuk. Di sela kebingunganku tiba-tiba dia tersenyum, aku tak sanggup membalasnya, entah apa yang menahan urat-urat bibirku untuk menggerakkannya menjadi sebentuk senyum seperti senyum perkenalan terdahulu.
Belum sembuh kebingunganku, aku terpaksa dibuat bingung dengan yang kulihat, perempuan purnama itu tiba-tiba bersayap dan perlahan terbang ke angkasa tanpa senyum lagi, mungkinkah dia marah karena aku tidak membalas senyumnya, aku pun hanya mematung menyaksikan semuanya, seperti tersihir dengan keadaan hingga tak mampu bergerak. Ya perempuan purnama itu semakin mengangkasa seperti menuju ke purnama meninggalkanku dan batu hitam yang telah berlumut ini, aku lelah kembali, tertidur di batu hitam yang telah berlumut ini.

Teruntuk perempuan yang telah mereguk purnama,
Jangan pernah lupakan aku!
Karena kau selalu baru dalam otakku.
Malang, 16.09.08
05.30-07.11