Hari itu aku baru pulang dari sekolah, biasanya aku jalan kaki
sebab jarak antara sekolah dengan rumahku tak lebih dari 2 km. Hari yang
cerah, itu dapat kurasakan dari sengatan mentari yang membuatku merasa
haus, tenggorokanku rasanya sangat kering. Sejak keluar dari sekolah aku
sudah mengawasi kanan-kiri untuk melihat-lihat siapa tahu ada penjual
es, namun sama sekali tak kutemui penjaja es dari tadi. Akhirnya aku
memutuskan untuk istirahat di bawah pohon, aku melihat semacam tempat
duduk yang terbuat dari papan yang biasanya ditempati ibu-ibu ketika
menunggu angkot ketika mau ke pasar. Aku selonjorkan kaki ini supaya
peredaran darah di betisku berjalan dengan lancar, aku melakukan hal ini
setelah sering jalan-jalan dengan pak lik, beliaulah yang
mengingatkanku agar setelah berjalan kaki jangan ditekuk karena akan
menyebabkan penyakit apa gitu, yang pasti aku lupa apa penyakitnya sebab
aku sering lupa dengan nama-nama penyakit. Ah enak rasanya menikmati
angin yang membelai rambutku dan menyapu keringat di keningku, dan rasa
nyaman itu bertambah setelah penjual buah melintas didepanku.
“ pak buahnya berapaan? “
“ seribu dapat tiga “ jawabnya
“ kalo gitu, semangka enam “ aku mengulurkan uang seribuan dua, penjual buah itu pun beranjak pergi dari tempatku duduk.
Nikmat rasanya semangka ini, apa karena panas yang menyengat semangka ini nikmat untuk disantap. Namun setelah semangka yang terakhir aku agak kaget, aku merasa ada biji semangka yang ikut tertelan, ya hanya sebiji tapi membuatku fikiranku agak karuan. Aku jadi ingat kata nenek dulu kalau makan semangka bijinya jangan sampai tertelan sebab biji itu akan tumbuh didalam tubuhmu, aku jadi cemas. Aku benar-benar cemas, jangan-jangan nanti ditubuhku tumbuh semangka. Aku benar-benar takut, akhirnya aku memutuskan untuk cepat-cepat pulang.
Aku sedikit lega setelah melihat halaman rumahku, aku pun membayangkan nasi dan lauk dimeja makan. Aku ingin cepat-cepat makan yang banyak, berharap langsung buang air besar dan benar-benar sangat berharap biji semangka itu keluar bersamaan dengan beolku. Aku benar-benar takut jika biji itu tumbuh menjadi pohon semangka di dalam tubuhku, moga-moga perutku cepat-cepat mules dan buang air besar serta biji itu juga ikut keluar dengan beolku. Melihat aku makan banyak ibuku terheran-heran sebab biasanya aku makannya sedikit, aku menjawab asal saja dengan mengatakan kalau aku lagi nafsu banget untuk makan. Ibuku malah mengatakan kalau aku mungkin aku sudah baligh, sebab katanya ciri-ciri orang baligh kalau tidak ingin dekat-dekat sama perempuan biasanya makannya banyak. Aku hanya mengiyakan saja sebab perutku mulai tidak sabar ingin muntah, kulihat ibu tersenyum.
Aku sudah berada di WC, aku tak lupa mengawasi beolku dan sangat berharap sekali biji semangka itu juga ikut keluar. Ku tunggu sampai lama, namun juga tak ku lihat biji semangka itu, aku sedikit takut lagi. Dan ketakutanku tambah meningkat setelah tak jua kulihat biji semangka itu, aku keluar dari WC dengan fikiran yang tak karuan. Wajahku kusut sekali, karena tak ingin berkalut-kalut aku coba untuk tidur namun mataku tak kunjung bisa terpejam, akhirnya aku hanya mondar-mandir didalam kamar. Aku coba keluar kamar dan duduk di ruang tamu sambil menyetel TV untuk sekedar menenangkan fikiranku yang kalut.
Tak terasa malam mulai datang, aku pun tidak ngaji malam ini karena fikiranku masih kalut. Aku beralasan malas waktu ibuku menanyakan mengapa aku tidak ngaji di langgar, dan omelan-omelan meluncur deras dari ibuku, nasehat sech tapi karena aku sedikit agak kesal aku anggap itu sebagai omelan. Semalaman aku tidak bisa tidur, fikiranku masih tidak bisa diajak terlelap padahal mataku mulai tidak kuat menahan kantuk.
“ bangun us ‘ suara ibuku terdengar berkali-kali namun aku tak menghiraukannya.
Aku baru terbangun jam sembilan, saat aku keluar dari kamar aku lihat ibuku dari dapur masih dengan pisaunya. Hatiku gemetaran, bukan karena melihat pisau ditangan ibu tapi karena hari ini aku terlambat bangun dan otomatis tidak masuk sekolah.
“ mulai besok selama seminggu kamu tidak dapat uang saku “ aku hanya bisa pasrah, aku tak kuasa untuk membantahnya sebab mungkin akan lebih berat akibatnya.
Aku hanya tersenyum sendiri mengingat peristiwa sepuluh tahun yang lalu, sungguh indah masa kanak-kanak itu, rasanya baru kemarin aku menikmatinya.
Malang, Februari 2009
“ pak buahnya berapaan? “
“ seribu dapat tiga “ jawabnya
“ kalo gitu, semangka enam “ aku mengulurkan uang seribuan dua, penjual buah itu pun beranjak pergi dari tempatku duduk.
Nikmat rasanya semangka ini, apa karena panas yang menyengat semangka ini nikmat untuk disantap. Namun setelah semangka yang terakhir aku agak kaget, aku merasa ada biji semangka yang ikut tertelan, ya hanya sebiji tapi membuatku fikiranku agak karuan. Aku jadi ingat kata nenek dulu kalau makan semangka bijinya jangan sampai tertelan sebab biji itu akan tumbuh didalam tubuhmu, aku jadi cemas. Aku benar-benar cemas, jangan-jangan nanti ditubuhku tumbuh semangka. Aku benar-benar takut, akhirnya aku memutuskan untuk cepat-cepat pulang.
Aku sedikit lega setelah melihat halaman rumahku, aku pun membayangkan nasi dan lauk dimeja makan. Aku ingin cepat-cepat makan yang banyak, berharap langsung buang air besar dan benar-benar sangat berharap biji semangka itu keluar bersamaan dengan beolku. Aku benar-benar takut jika biji itu tumbuh menjadi pohon semangka di dalam tubuhku, moga-moga perutku cepat-cepat mules dan buang air besar serta biji itu juga ikut keluar dengan beolku. Melihat aku makan banyak ibuku terheran-heran sebab biasanya aku makannya sedikit, aku menjawab asal saja dengan mengatakan kalau aku lagi nafsu banget untuk makan. Ibuku malah mengatakan kalau aku mungkin aku sudah baligh, sebab katanya ciri-ciri orang baligh kalau tidak ingin dekat-dekat sama perempuan biasanya makannya banyak. Aku hanya mengiyakan saja sebab perutku mulai tidak sabar ingin muntah, kulihat ibu tersenyum.
Aku sudah berada di WC, aku tak lupa mengawasi beolku dan sangat berharap sekali biji semangka itu juga ikut keluar. Ku tunggu sampai lama, namun juga tak ku lihat biji semangka itu, aku sedikit takut lagi. Dan ketakutanku tambah meningkat setelah tak jua kulihat biji semangka itu, aku keluar dari WC dengan fikiran yang tak karuan. Wajahku kusut sekali, karena tak ingin berkalut-kalut aku coba untuk tidur namun mataku tak kunjung bisa terpejam, akhirnya aku hanya mondar-mandir didalam kamar. Aku coba keluar kamar dan duduk di ruang tamu sambil menyetel TV untuk sekedar menenangkan fikiranku yang kalut.
Tak terasa malam mulai datang, aku pun tidak ngaji malam ini karena fikiranku masih kalut. Aku beralasan malas waktu ibuku menanyakan mengapa aku tidak ngaji di langgar, dan omelan-omelan meluncur deras dari ibuku, nasehat sech tapi karena aku sedikit agak kesal aku anggap itu sebagai omelan. Semalaman aku tidak bisa tidur, fikiranku masih tidak bisa diajak terlelap padahal mataku mulai tidak kuat menahan kantuk.
“ bangun us ‘ suara ibuku terdengar berkali-kali namun aku tak menghiraukannya.
Aku baru terbangun jam sembilan, saat aku keluar dari kamar aku lihat ibuku dari dapur masih dengan pisaunya. Hatiku gemetaran, bukan karena melihat pisau ditangan ibu tapi karena hari ini aku terlambat bangun dan otomatis tidak masuk sekolah.
“ mulai besok selama seminggu kamu tidak dapat uang saku “ aku hanya bisa pasrah, aku tak kuasa untuk membantahnya sebab mungkin akan lebih berat akibatnya.
Aku hanya tersenyum sendiri mengingat peristiwa sepuluh tahun yang lalu, sungguh indah masa kanak-kanak itu, rasanya baru kemarin aku menikmatinya.
Malang, Februari 2009
0 komentar:
Posting Komentar